MA’NAHU (Definisinya):
1. Secara bahasa (LUGHATAN): I’tikaf berasal dari kata ‘AKAFA-YA’KIFU-‘UKUFAN (tetap pada sesuatu).
2. Secara syari’at (SYAR’AN): I’tikaf yaitu menetap di masjid & tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada ALLAH SWT (LUZUUMUL MASJID WAL IQAAMATU FIIHI BINIYYATIT TAQARRUBI ILALLAAHI ‘AZZA WA JALLA)
Dalam tinjauan bahasa Arab, al-i’tikaf bermakna al-ihtibas (tertahan) dan al-muqam (menetap)[1].
Sedangkan definisinya menurut para fuqaha adalah:
الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ
Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Atau:
لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ
Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.
Hukum dan Dalil Disyariatkannya I’tikaf
Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan. I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.
Dalil-dalilnya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).
قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Aisyah ra berkata: Rasulullah saw melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf seorang istri harus seizin suaminya.
MASYRU’IYYATUHU (Dalil disyariatkannya):
- Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2 ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
- As-Sunnah: Dari Aisyah ra: “Adalah nabi SAW melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan ALLAH SWT, lalu hal tersebut dilanjutkan oleh para istri beliau SAW setelah wafatnya.” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 hari terakhir & i’tikaf di masjid-masjid, hadits no. 2026)
- Ijma’: Telah sepakat seluruh ummat atas disyariatkannya i’tikaf (AJMA’ATIL UMMATU ‘ALA MASYRU’IYYATIL I’TIKAF).
HUKMUHU (Kedudukan Hukumnya) :
- WAJIB: Jika merupakan NADZAR, baik nadzar tersebut MUTHLAQ (tanpa syarat) maupun MASYRUTH (dengan syarat, misalnya jika saya dimudahkan urusan maka saya niat i’tikaf), berdasarkan hadits Ibnu Umar ra: “Umar bernadzar akan i‘tikaf pada zaman jahiliyyah di masjidil Haram. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab Apabila seorang bernadzar untuk i’tikaf di masa Jahiliyyah lalu ia masuk Islam, hadits no. 2043)
- SUNNAH: Pada 10 hari di akhir Ramadhan (berdasarkan hadits Aisyah no. 2026 di atas) & di bulan-bulan lainnya selain Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN dari Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf di bulan Syawwal, hadits no. 2041)
ZAMANUHU (Waktu memulai & mengakhirinya):
- Untuk yang wajib karena nadzar, maka waktunya sesuai dengan yang dinadzarkan (lihat hadits Ibnu Umar no. 2043 di atas)
- Untuk yang sunnah di bulan Ramadhan, maka masuk masjid saat shalat Shubuh pada hari ke-20 bulan Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN, hadits no. 2041 di atas) dan keluar saat akan shalat Ied (berdasarkan semua hadits-hadits tentang jumlah hari i’tikaf di atas).
ARKANUHU (Rukun-rukun I’tikaf):
- An-Niyyah (niat), berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Bayyinah, 98:5 dan hadits Umar ra : Innamal a’malu bin niyyat.
- Makanuhu (tempat i’tikaf): Di masjid (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Baqarah, 2:187), Imam Syafi’i lebih menyukai di mesjid jami’ & Imam Malik mensyaratkan harus di majid jami’, karena i’tikaf akan terputus jika orang tersebut keluar untuk shalat Jumat ke mesjid yang lain.
MAA YUSANNU LIL MU’TAKIF (Apa-apa yang disunnahkan pada orang yang i’tikaf):
- Puasa (berdasarkan hadits-hadits di atas), pada selain bulan Ramadhan dibolehkan i’tikaf tanpa berpuasa (berdasarkan hadits Umar no. 2043 di atas)
- Shalat malam baik berjama’ah maupun sendiri-sendiri (berdasarkan hadits Abu Hurairah, Fathul Bari, Kitab Shalat Tarawih, bab Keutamaan org yang melakukan Qiyam Ramadhan, hadits no. 2009)
- Menanti lailatul qadar (berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 yang akhir & i’tikaf di mesjid-masjid, hadits no. 2027)
- Membaca al-Qur’an, berdasarkan firman ALLAH SWT pada surat Al-Baqarah (2) ayat 185 : “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
- Berdzikir, membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, shalawat, istighfar (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Ahzab, 33:41 dan hadits Aisyah ra, Fathul Bari, Kitab )
- Berdoa, berdasarkan Firman ALLAH SWT surat Al-Baqarah (2) ayat 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
MAA YUBAAHU LAHU (Apa-apa yang dibolehkan bagi yang i’tikaf):
- Perbuatan-perbuatan yang mubah seperti mandi, berminyak wangi, mencukur rambut, berhias, disisir rambut oleh istri, mencuci rambut/keramas (Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab wanita haid menyisir rambut org yang i’tikaf)
- Boleh bercakap-cakap dengan orang lain, berduaan dengan istri, ataupun karena ada keperluan keluar ke pintu mesjid atau kerumahnya, kemudian kembali lagi (berdasarkan hadits Shafiyyah ra, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab Apakah orang yang i’tikaf boleh keluar untuk keperluannya ke pintu masjid, Hadits no. 2035 & no. 2038)
- Wanita yang sedang istihadhah (mengeluarkan darah bukan karena haid) boleh ikut i’tikaf (berdasarkan hadits Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, bab i’tikaf bagi wanita yang Mustahadhah, hadits no. 2037)
- Orang yang i’tikaf boleh membatalkan i’tikafnya karena sesuatu hal yang penting (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang i’tikaf lalu tampak baginya keinginan untk keluar dr i’tikaf, hadits no. 2045)
- Orang yang i’tikaf boleh membawa barang-barang yang diperlukan, seperti alas tidur ke dalam mesjid (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang keluar dari i’tikafnya di waktu shubuh, hadits no. 2040)
I’tikaf bagi muslimah
I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.
Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.
Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.
ALLAHu a’lam bish Shawab…
Sumber : http://ddkananta.wordpress.com