Umrah Backpacker I'tikaf Full Ramadhan

Umrah Backpacker = Umroh untuk Jamaah yang Sudah Berpengalaman?



Ada banyak faktor orang berangkat umrah. Ada yang karena terlalu lama mengantri haji akhirnya memutuskan untuk ber-umrah terlebih dahulu. Ada yang ber-umrah sebagai perkanalan awal sebelum melaksanakan ibadah haji. Ada yang hanya memiliki sejumlah dana, karena kekhawatiran tidak terkejar untuk biaya haji sementara usia sudah semakin sepuh, maka umrah menjadi pilihan. Ada yang berpikir daripada jalan-jalan ke luar negeri berbelanja berfoya-foya, lebih baik pergi umrah memiliki nilai ibadah. 

Semakin banyak masyarakat Muslim yang berminat untuk pergi umrah bersama keluarganya membuka peluang travel umrah untuk menawarkan berbagai paket umrah. Mulai dari umrah reguler biasa, umrah bersama artis dan umrah plus wisata ke negara Islam. 

Yang menarik belakangan adalah munculnya penawaran umrah backpacker. Kami sendiri, terinspirasi dari konsep backpacker, yang secara garis besar diartikan sebagai menempuh perjalana umrah dengan biaya minimal. 

Ada kekhawatiran saat ini ketika melihat tarif paket umrah yang rendah. Karena belakangan banyak terjadi penyelewengan dana umrah. Untuk paket umrah reguler, standar saat ini (awal tahun 2013) berkisar di atas 17 jutaan rupiah, itu belum termasuk biaya kartu kesehatan dan airpotax handling. Bahkan bisa lebih besar dari itu untuk paket umrah plus.

Namun untuk paket umrah backpacker di awal tahun 2013 bisa dijual dengan harga 13,5 juta saja. Perlu diketahui, fasilitas yang diterima hanya berupa tiket pesawat dan visa umrah plus transportasi Jedah - Madinah - Mekkah - Jeddah. Di luar itu menjadi tanggungan masing-masing jamaah, mulai dari makan sampai penginapan. 

Kami memberikan peringatan untuk para calon jamaah umrah backpacker. Kami berupaya untuk memberikan saran agar bagi calon jemaah yang belum pernah melaksanakan ibadah umrah/haji sebelumnya tidak ikut dalam program backpacker ini. Karena khawatir akan mengalami banyak kesulitan. Kekhawatiran lain adalah ketika jamaah merasa sulit dengan keadaannya sebagai seorang backpacker, jemaah memutuskan untuk upgrade ke paket reguler justru ketika di tanah suci. Ini hanya akan semakin menambah kesulitan jemaah tersebut, karena untuk upgrade tanpa grup akan dikenakan biaya yang lebih tinggi.

Tapi itu memang baru sekedar kekhawatiran, jika memang ada calon jemaah yang merasa sudah siap dengan kondisi backpacker walaupun belum pernah melaksanakan umrah/haji sebelumnya, kami akan dengan terbuka untuk memberikan kemudahan.
Share:

Penguburan di Baqi' dan Keutamaannya


Telah banyak hadits-hadits yang menjelaskan kemuliaan wafat di kota Madinah dan kemuliaan dikuburkan di Baqi’ dan di antara fadhilah-fadhilah paling utama bagi siapa saja yang dikuburkan di Baqi’ adalah hal-hal berikut ini:
  • Mendapatkan syafaat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pada hari kiamat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
من استطا ع أن يمو في المدينت , فليمت , فإ ني أ شفع يمو ت بها

“Barangsiapa yang bisa mati di Kota Madinah, hendaklah dia mati, sesungguhnya aku memberikan syafaat bagi yang mati di dalamnya” (HR Tirmidzi dalam Sunannya, bab Kemuliaan Kota Madinah dan Ahmad dalam Musnadnya)
  • Beruntung mendapatkan doa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan permohonan ampun serta bacaan shalawat dari beliau, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu 'anha, dia berkata:
“Adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam setiap kali bermalam di rumahnya, keluar di akhir malam menuju ke Baqi’ maka beliaupun mengucapkan:

اسلا م عليكم دا ر قو م مؤ منين , و أ تا كم ما تو عدون , غدامؤجلون , و أ نا إ ن شا ء الله بكم لا حقون , اللهم اغفر لأ هل بقيع الغر قد

Artinya: “Salam sejahtera buat kamu wahai tempat tinggal orang-orang beriman, besok akan tiba hari yang telah ditetapkan, sesungguhnya kami dengan izin Allah akan menyusul kamu. Ya Allah! Ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad” (HR Muslim, Bab apa yang dikatakan ketika masuk kuburan dan berdoa untuk penghuninya dan Nasa’i dalam Sunannya).
  • Dia akan dibangkitkan dalam keadaan aman (aman dari hal-hal yang menakutkan) pada hari Kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
من ما ت بأ حرمين بعث آ منا يو م القيا مة

“Barangsiapa yang mati di salah satu dua kota suci, maka kelak dia akan dibangkitkan dalam keadaan aman pada hari Kiamat” (HR Baihaqi dalam Sunannya dan Darqutni dalam Sunannya dan Thoyalisi dalam Musnadnya dan Thabrani dalam Mu’jam al Shaghir)
  • Dikumpulkan bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar serta Umar radhiallahu 'anhum pada hari Kiamat, sebagaimana Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Akulah orang pertama yang dikeluarkan dari belahan bumi pada hari Kiamat, kemudian Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian aku mendatangi penghuni Baqi’, merekapun dikumpulkan bersamaku. Kemudian aku menanti penduduk Mekkah, maka aku akan dikumpulkan di antara dua Tanah Haram”
  • Dia berada di samping sepuluh ribu shahabat yang mulia dan tokoh-tokoh para tabi’in yang baik-baik serta orang-orang yang datang setelah mereka dari para ulama, para wali dan orang-orang sholeh lainnya.
Dan termasuk yang menunjukkan fadhilah Baqi’ juga adalah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk Ummu Qais binti Muhshan radhiallahu 'anha:
“Apakah kamu melihat pekuburan ini (yakni Baqi al-Gharqad), Allah akan membangkitkan darinya tujuh puluh ribu pada hari Kiamat dalam rupa bulan di malam purnama, mereka masuk surga tanpa hisab”.
Share:

Umrah Backpacker Itikaf Ramadhan

Bismillaahirrahmaanirrahiim,,,

Dalam kamus bahasa Inggris, istilah backpacker didefiniskan sebagai "a hiker who backpack". Dalam kenyataannya istilah backpacker tidak hanya disematkan kepada "hiker", tapi meluas kepada siapa saja yang menempuh perjalanan dengan berbekal dana yang minim dan perlengkapan seperlunya. Istilah backpacker diasosiasikan dengan perjalanan yang murah. 

Beberapa orang gemar bepergian ala backpacker, hingga melancong ke negeri orang pun dilakukan secara backpacker. Ada keunikan tersendiri yang dapat dirasakan melalui perjalanan ala backpacker. Konsep backpacker ini kian menjamur dan diminati hampir seluruh kalangan. Kaum Muslimin pun mulai melirik cara-cara backpacker sebagai pilihan dalam menunaikan ibadah yang selama ini ter-frame sulit dilaksanakan karena faktor keterbatasan biaya, yaitu haji dan umrah. 

Setiap Muslim pasti ingin berziarah ke tanah suci, baik untuk berumrah maupun haji. Program umrah backpacker menjadi alternatif bagi siapa saja yang hendak berumrah dengan budget minimal.

Program umrah backpacker i'tikaf Ramadhan ini insyaAllah menjadi program rutin tahunan yang diselenggarakan sebagai bentuk kepedulian kepada Kaum Muslimin Indonesia yang ingin bersegera dalam beribadah umrah dan beritikaf di dua Masjid Suci (Masjid Nabawi dan Masjidil Haram) selama bulan Ramadhan.

Share:

Fiqh I'tikaf

MA’NAHU (Definisinya):

1. Secara bahasa (LUGHATAN): I’tikaf berasal dari kata ‘AKAFA-YA’KIFU-‘UKUFAN (tetap pada sesuatu).

2. Secara syari’at (SYAR’AN): I’tikaf yaitu menetap di masjid & tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada ALLAH SWT (LUZUUMUL MASJID WAL IQAAMATU FIIHI BINIYYATIT TAQARRUBI ILALLAAHI ‘AZZA WA JALLA)

Dalam tinjauan bahasa Arab, al-i’tikaf bermakna al-ihtibas (tertahan) dan al-muqam (menetap)[1].

Sedangkan definisinya menurut para fuqaha adalah:

الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ
Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Atau:

لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ
Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.

Hukum dan Dalil Disyariatkannya I’tikaf

Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan. I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.

Dalil-dalilnya:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).

قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Aisyah ra berkata: Rasulullah saw melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf seorang istri harus seizin suaminya.

MASYRU’IYYATUHU (Dalil disyariatkannya):
  1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2 ayat 187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
  2. As-Sunnah: Dari Aisyah ra: “Adalah nabi SAW melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan ALLAH SWT, lalu hal tersebut dilanjutkan oleh para istri beliau SAW setelah wafatnya.” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 hari terakhir & i’tikaf di masjid-masjid, hadits no. 2026)
  3. Ijma’: Telah sepakat seluruh ummat atas disyariatkannya i’tikaf (AJMA’ATIL UMMATU ‘ALA MASYRU’IYYATIL I’TIKAF).
HUKMUHU (Kedudukan Hukumnya) :
  1. WAJIB: Jika merupakan NADZAR, baik nadzar tersebut MUTHLAQ (tanpa syarat) maupun MASYRUTH (dengan syarat, misalnya jika saya dimudahkan urusan maka saya niat i’tikaf), berdasarkan hadits Ibnu Umar ra: “Umar bernadzar akan i‘tikaf pada zaman jahiliyyah di masjidil Haram. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya: Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab Apabila seorang bernadzar untuk i’tikaf di masa Jahiliyyah lalu ia masuk Islam, hadits no. 2043)
  2. SUNNAH: Pada 10 hari di akhir Ramadhan (berdasarkan hadits Aisyah no. 2026 di atas) & di bulan-bulan lainnya selain Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN dari Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf di bulan Syawwal, hadits no. 2041)
ZAMANUHU (Waktu memulai & mengakhirinya):
  1. Untuk yang wajib karena nadzar, maka waktunya sesuai dengan yang dinadzarkan (lihat hadits Ibnu Umar no. 2043 di atas)
  2. Untuk yang sunnah di bulan Ramadhan, maka masuk masjid saat shalat Shubuh pada hari ke-20 bulan Ramadhan (berdasarkan hadits Amrah binti AbduRRAHMAN, hadits no. 2041 di atas) dan keluar saat akan shalat Ied (berdasarkan semua hadits-hadits tentang jumlah hari i’tikaf di atas).
ARKANUHU (Rukun-rukun I’tikaf):
  • An-Niyyah (niat), berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Bayyinah, 98:5 dan hadits Umar ra : Innamal a’malu bin niyyat.
  • Makanuhu (tempat i’tikaf): Di masjid (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Baqarah, 2:187), Imam Syafi’i lebih menyukai di mesjid jami’ & Imam Malik mensyaratkan harus di majid jami’, karena i’tikaf akan terputus jika orang tersebut keluar untuk shalat Jumat ke mesjid yang lain.
MAA YUSANNU LIL MU’TAKIF (Apa-apa yang disunnahkan pada orang yang i’tikaf):
  • Puasa (berdasarkan hadits-hadits di atas), pada selain bulan Ramadhan dibolehkan i’tikaf tanpa berpuasa (berdasarkan hadits Umar no. 2043 di atas)
  • Shalat malam baik berjama’ah maupun sendiri-sendiri (berdasarkan hadits Abu Hurairah, Fathul Bari, Kitab Shalat Tarawih, bab Keutamaan org yang melakukan Qiyam Ramadhan, hadits no. 2009)
  • Menanti lailatul qadar (berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab I’tikaf pada 10 yang akhir & i’tikaf di mesjid-masjid, hadits no. 2027)
  • Membaca al-Qur’an, berdasarkan firman ALLAH SWT pada surat Al-Baqarah (2) ayat 185 : “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
  • Berdzikir, membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, shalawat, istighfar (berdasarkan firman ALLAH SWT QS Al-Ahzab, 33:41 dan hadits Aisyah ra, Fathul Bari, Kitab )
  • Berdoa, berdasarkan Firman ALLAH SWT surat Al-Baqarah (2) ayat 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
MAA YUBAAHU LAHU (Apa-apa yang dibolehkan bagi yang i’tikaf):
  • Perbuatan-perbuatan yang mubah seperti mandi, berminyak wangi, mencukur rambut, berhias, disisir rambut oleh istri, mencuci rambut/keramas (Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab wanita haid menyisir rambut org yang i’tikaf)
  • Boleh bercakap-cakap dengan orang lain, berduaan dengan istri, ataupun karena ada keperluan keluar ke pintu mesjid atau kerumahnya, kemudian kembali lagi (berdasarkan hadits Shafiyyah ra, Fathul Bari, Kitab I’tikaf, bab Apakah orang yang i’tikaf boleh keluar untuk keperluannya ke pintu masjid, Hadits no. 2035 & no. 2038)
  • Wanita yang sedang istihadhah (mengeluarkan darah bukan karena haid) boleh ikut i’tikaf (berdasarkan hadits Aisyah ra, Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, bab i’tikaf bagi wanita yang Mustahadhah, hadits no. 2037)
  • Orang yang i’tikaf boleh membatalkan i’tikafnya karena sesuatu hal yang penting (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang i’tikaf lalu tampak baginya keinginan untk keluar dr i’tikaf, hadits no. 2045)
  • Orang yang i’tikaf boleh membawa barang-barang yang diperlukan, seperti alas tidur ke dalam mesjid (Fathul Bari’, Kitab i’tikaf, Bab Orang yang keluar dari i’tikafnya di waktu shubuh, hadits no. 2040)
I’tikaf bagi muslimah

I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.

Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.

ALLAHu a’lam bish Shawab…

Sumber : http://ddkananta.wordpress.com

Share:

Miqat Makani Haji dan Umrah Jamaah Indonesia

oleh
DRS. H. IRFAN ANSHORY



SALAH SATU MASALAH manasik atau tatacara haji dan umrah yang banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan, adalah masalah miqat makani, yaitu tempat jemaah haji dan umrah mulai berihram (memakai pakaian ihram dan tidak melakukan larangan ihram). Perbedaan pendapat muncul lantaran interpretasi yang beraneka ragam terhadap hadits dalam Shahih al-Bukhari, Volume ke-2, hadits No. 605, yang berbunyi sebagai berikut:

Dari Abdullah ibn Abbas r.a. yang berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat (waqqata) Dzulhulaifah bagi warga Madinah, Juhfah bagi warga Syam, Qarnulmanazil bagi warga Najd, dan Yalamlam bagi warga Yaman. Tempat-tempat itu (hunna) berlaku bagi warga masing-masing tempat itu (lahunna) dan bagi yang datang ke tempat-tempat itu (wa li man ataa `alaihinna) dari tempat-tempat lain (min ghairihinna), yang ingin berhaji dan berumrah. Dan orang yang berada di luar tempat-tempat itu (wa man kaana duuna dzaalika) berihram dari mana saja dia muncul (min haitsu ansyaa’), sehingga warga Makkah berihram dari Makkah.”

Sesungguhnya empat lokasi yang disebutkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu, yaitu Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil dan Yalamlam, sama sekali tidak memiliki nilai historis yang perlu diistimewakan. Tempat-tempat itu pada zaman Nabi hanyalah merupakan terminal persinggahan terakhir bagi kafilah-kafilah dari berbagai jurusan sebelum masuk Makkah, baik untuk beribadah maupun untuk sekadar berdagang. Sangatlah wajar jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan empat lokasi tersebut sebagai tempat persiapan berihram, sebab ada beberapa kegiatan pra-ihram yang perlu dilakukan, yaitu mandi, membersihkan badan, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan shalat sunnah ihram. Di daerah gurun pasir yang langka air pada abad ketujuh, empat lokasi itulah yang ideal sebagai miqat makani.

Akan tetapi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam sabda maupun perbuatan beliau, tidaklah memutlakkan keempat lokasi itu. Dari hadits di atas jelas sekali bahwa calon haji yang tidak datang ke salah satu tempat tersebut boleh berihram dari mana saja dia muncul. Yang penting, syarat sahnya ihram harus dipenuhi, yaitu memasuki Tanah Haram dalam keadaan sudah berihram. Jika seseorang yang ingin berhaji atau berumrah menginjak Tanah Haram dengan belum berihram, maka dia harus keluar lagi ke salah satu tempat di luar Tanah Haram untuk memulai ihram.

Ketika pulang dari perang di Hunain pada bulan Syawwal 8 Hijri atau Februari 630 Masehi, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan umrah dengan mengambil miqat atau tempat mulai berihram di Ji`ranah, tempat di luar Tanah Haram yang hanya 20 km dari Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. tidak mengambil miqat di Qarnulmanazil, meskipun Hunain, daerah kaum Hawazin, berada di wilayah Najd!

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan haji pada bulan Dzulhijjah 10 Hijri atau Maret 632 Masehi, istri beliau Aisyah r.a. kebetulan sedang haid. Maka setelah Aisyah r.a. berhenti haid, Nabi Muhammad s.a.w. menyuruhnya untuk menunaikan umrah bersama-sama adiknya Abdurrahman ibn Abi Bakar dengan mulai berihram dari Tan`im, tempat di luar Tanah Haram yang paling dekat. Sekarang, perjalanan dari Tan`im ke Ka`bah hanya 10 menit dengan mengendarai mobil.

Setelah kota Kufah dan Basrah di Iraq menerima Islam pada tahun 12 Hijri atau 634 Masehi, pada mulanya penduduk kedua kota itu yang ingin berhaji atau berumrah mengambil Qarnulmanazil sebagai tempat miqat, sebab mereka dianalogikan sebagai warga Najd. Oleh karena mereka merasa repot dengan harus berbelok ke tenggara (waktu itu transportasi dan jalan raya tidak secanggih sekarang), mereka menghadap Khalifah Umar ibn Khattab r.a. untuk meminta alternatif tempat miqat. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah ibn Umar r.a., putra Khalifah sendiri, yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari, mereka berkata: “Wahai Amirul-Mu’minin. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menentukan Qarn sebagai miqat warga Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari rute jalan kami (jawrun `an thariiqinaa), dan jika kami ingin ke Qarn hal itu menyulitkan bagi kami (syaqqa `alainaa).” Maka Khalifah Umar r.a. yang terkenal cerdas itu memberikan solusi bijaksana: “Telitilah hadzwa-nya dari rute jalan kalian (fanzhuruu hadzwahaa min thariiqikum).”

Istilah matematika hadzwa artinya titik-titik sepusat (concentric points) atau berjarak sama jika diukur dari lokasi tertentu, seperti titik-titik pada keliling lingkaran atau seperti kita dengan bayangan di depan cermin. Oleh karena Qarnulmanazil berjarak dua marhalah (dua hari perjalanan unta) dari Makkah, maka Khalifah Umar r.a. menetapkan suatu tempat pada rute perjalanan dari Iraq, yang juga berjarak dua marhalah dari Makkah, sebagai lokasi miqat makani. Tempat itu lalu populer dengan nama Dzatu Irq (“tempat miqat orang Iraq”).

Di mana miqat makani jamaah Indonesia?

Berdasarkan hadits-hadits serta data historis yang telah dibahas, kita dapat merumuskan jawaban terhadap masalah pokok kita: di manakah miqat makani jemaah haji Indonesia? Pertama, jika kita berkesempatan untuk mampu berada di Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat makani kita sesuai dengan hadits. Kedua, jika kita tidak mampu datang ke salah satu dari empat tempat tersebut, tempat mana saja boleh kita jadikan sebagai miqat makani, asalkan lokasinya di luar Tanah Haram dan menyediakan fasilitas untuk persiapan berihram.

Bagi jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah, miqat makani mereka sudah tentu Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji. Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi, sebab tempat itu kini bernama Bi’r (Abyar) Ali, sebagaimana nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi Jakarta. Para jemaah haji mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian ihram pada pondokan masing-masing di Madinah. Kendaraan akan mampir di Bi’r Ali (Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji menunaikan shalat sunnah ihram. Di Bi’r Ali, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”

Bagi jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka yang paling ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz, yang populer dengan singkatan KAA Airport (King Abdul Aziz Airport). Di bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat yang luas, fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia yang siap membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram. Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari berbagai negara mulai berihram di KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara dalam keadaan berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah yang hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”

KAA Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita dari tanah air sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut, melewati kota Dafinah (23 16’ N, 41 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22 14’ N, 40 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21 41’ N, 39 10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21 29’ N, 39 10’ E), dan cukup jauh dari Makkah (21 28’ N, 39 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Cancer, 1 N = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 E = 108 km (1’ = 1,80 km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah.

Jalur penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21 37’ N, 40 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5 km.

Memulai ihram di pesawat udara?

Bagaimanakah pendapat yang mengatakan bahwa jemaah haji kita harus berpakaian ihram di tempat embarkasi di Indonesia, lalu mulai berihram di pesawat udara? Pendapat tersebut sah-sah saja dan tidak ada salahnya. Tapi apa gunanya kita menyiksa diri seperti itu dengan membiarkan tubuh kita kedinginan selama 10 jam di pesawat udara. Mereka yang memulai ihram dari pesawat udara pada umumnya berdasarkan hal-hal berikut: Pertama, mereka beranggapan mengambil miqat di Qarnulmanazil. Kedua, mereka ragu dan waswas kalau-kalau jalur penerbangan melewati batas Tanah Haram. Ketiga, mereka berpendapat bahwa KAA Airport tidak sah sebagai miqat makani sebab tidak tersebut dalam hadits. Keempat, mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh para pembimbing karena memang masih awam dan baru belajar manasik ketika akan pergi haji.

Padahal, seperti telah kita bahas, pesawat udara kita tidak lewat di atas Qarnulmanazil serta sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Memulai ihram dari pesawat udara tidaklah salah, tetapi janganlah menipu diri sendiri dengan berkhayal mengambil miqat di Qarnulmanazil, apalagi sambil menyalahkan atau menganggap tidak sah yang mengambil miqat di KAA Airport. Bandara yang baru dipakai tahun 1979 ini sudah tentu tidak ada dalam hadits, sebagaimana pesawat udara, awang-awang dan langit juga tidak pernah disebutkan dalam hadits untuk menjadi tempat miqat.

Ternyata mereka yang ingin memulai ihram di pesawat udara sering bingung mengenai kapan saat yang tepat untuk itu. Ada yang mengatakan kira-kira seperempat jam sebelum landing, ada yang mengatakan kira-kira 20 menit, atau kira-kira 25 menit, dan ada juga pendapat kira-kira 30 menit sebelum pesawat mendarat di KAA Airport. Semuanya kira-kira! Dengan kecepatan rata-rata (ground speed) pesawat udara 575 mil atau 920 km per jam, selisih waktu semenit saja dapat menyebabkan perbedaan lebih dari 15 km. Sudah tentu pelaksanaan ibadah dengan metode “kira-kira” tidaklah dapat dipertanggungjawabkan baik secara diniyah maupun secara ilmiah.

Ada yang mengatakan bahwa “lokasi Qarnulmanazil akan diumumkan oleh pilot”! Dari beberapa kali penerbangan ke tanah suci, baik umrah maupun haji, saya menyimpulkan bahwa pilot pesawat udara dan kru-krunya tidak tahu apa-apa mengenai lokasi Qarnulmanazil. Pada salah satu penerbangan, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas Qarnulmanazil dan para jemaah haji yang ingin memulai ihram segera bersiap-siap. Merasa penasaran saya bertanya bagaimana cara menentukan koordinat Qarnulmanazil dari udara. Mereka mengaku tidak tahu lokasi Qarnulmanazil sebab tidak ada dalam peta, dan hanya melaksanakan instruksi pihak Garuda agar mengumumkan hal itu 30 menit sebelum mendarat. Pada penerbangan yang lain, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas miqat makani kota Nasir. Ketika saya mengomentari bahwa tidak ada tempat miqat bernama Nasir, sang petugas mengatakan bahwa menurut orang Depag Nasir adalah nama baru Qarnulmanazil. Entah ‘orang Depag’ mana yang dia maksud. Padahal, seperti telah kita hitung, jarak antara Nasir dan Qarnulmanazil (yang nama barunya As-Sayl al-Kabir) adalah 78,2 km.

Pengalaman ke Qarnulmanazil

Penulis pernah mengunjungi Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir) secara tidak sengaja ketika menunaikan umrah pada bulan Januari 1997. Niat saya adalah pergi ke Ta’if, berangkat naik taksi dari Makkah melalui Aziziyah. Ketika pulang dari Ta’if, supir taksi menawari saya agar kembali ke Makkah melalui jalur utara, tentu dengan tambahan riyal. Katanya, jamaah dapat melihat miqat di Sayl dan melihat ustad (stadion olahraga) di Ji`ranah. Mendengar nama Sayl, penulis langsung setuju sambil diam-diam menghitung sisa riyal di saku. Ternyata As-Sayl al-Kabir itu memang lokasi miqat resmi seperti Dzulhulaifah (Bi’r Ali). Di sana terdapat tugu miqat, mesjid megah tempat persiapan berihram, dan lapangan parkir yang luas.

Sekitar satu jam sebelum mencapai Sayl dari arah timur, ada lapangan terbang domestik. Kelihatannya semacam pangkalan udara militer. Menurut supir taksi, daerah itu bernama Wadi Mahram. Saya langsung berharap sambil berdoa, semoga pemerintah Arab Saudi segera meningkatkan status lapangan terbang di Wadi Mahram menjadi bandara internasional, setidak-tidaknya bandara khusus haji. Dengan demikian, jemaah haji dari arah timur yang ingin langsung ke Makkah dapat mengambil miqat makani di Qarnulmanazil sesuai dengan bunyi hadits. Tidak seperti sekarang, banyak yang mengaku berihram dari Qarnulmanazil, tetapi tidak tahu di mana dan belum pernah ke sana. Aneh tapi nyata!

Jika kita ingin mengambil miqat di Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir), kita harus naik pesawat udara yang rutenya Jakarta-Riyadh, bukan Jakarta-Jeddah, seperti pernah saya alami bersama beberapa teman pada bulan Juli 2002. Setelah mendarat di Bandara Internasional Raja Khalid, Riyadh, kita pergi ke terminal bis SAPTCO (Saudi Arabian Public Transportation Company, “DAMRI”-nya Arab Saudi) yang tidak jauh dari bandara. Kita naik bis Riyadh-Jeddah yang setiap 30 menit berangkat, tetapi jangan keterusan sampai Jeddah, melainkan turun di Ta’if atau di Halban (sebelum Ta’if dari arah timur). Dari Ta’if atau dari Halban kita menyewa taksi ke Makkah lewat Sayl. Jangan naik bis, sebab bis ke Makkah semuanya lewat Aziziyah. Di kompleks miqat As-Sayl al-Kabir, kita berwudu’ (atau mandi kalau mau), mengenakan pakaian ihram (di sana ada toko yang menjual pakaian ihram), menunaikan shalat sunnah ihram, mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah”, lalu berangkat ke Makkah. Nah, ini baru asli Qarnulmanazil, bukan ‘Qarnulmanazil khayal’ di awang-awang yang tidak jelas koordinatnya.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas, kita mengharapkan agar para jemaah haji Indonesia mantap dan tidak ragu-ragu dalam menetapkan miqat makani (tempat memulai ihram), yaitu Dzulhulaifah (Bi’r Ali) bagi yang ke Madinah dahulu (Gelombang Pertama), serta Bandar Udara Raja Abdul Aziz (KAA Airport) bagi yang langsung ke Makkah (Gelombang Kedua).

Wallahu a`lam bi sh-shawab.

Sumber: http://irfananshory.blogspot.com
Share:

Miqat Haji dan Umrah


Pembahasan Pertama : Waktu Haji Dan Umrah (Miqat Zamani)

Umrah boleh dilakukan  kapan saja sepanjang tahun, baik pada musim haji, maupun pada waktu lainnya, lebih ditekankan lagi pada bulan Ramadhan, karena pahalanya seperti pahala haji bersama nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dalam hadits :






“Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang dari hajinya, beliau berkata kepada Ummu Sinan Al Anshariyyah: “Sesungguhnya berumrah di bulan Ramadhan senilai haji bersamaku”. (HR. Muslim)

Begitu juga dianjurkan untuk melakukan umrah pada musim haji, karena nabi melakukannya.
Dan dibolehkan mengulangi ibadah umrah, seperti yang pernah dilakukan oleh Aisyah ketika melakukan umrah dua kali pada bulan Dzulhijjah, dan hal itu dilakukan oleh beberapa sahabat juga.

Barang siapa yang hendak melaksanakan ibadah haji, hendaknya dia berniat ihram  sesudah bulan Syawal, hal ini berdasarkan firman Allah :


“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. Al-Baqarah: 197)

Maksud dari bulan-bulan haji adalah Syawal, Dulqa’dah dan Dzulhijjah, demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Jika dia berniat ihram untuk haji sebelum bulan Syawal, maka hal itu tidak dianjurkan, akan tetapi hajinya tetap sah.

Pembahasan Kedua : Batasan Tempat (Miqat Makani) untuk Ihram

Miqat Makani ada lima, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist :


“Dari Ibnu 'Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah"

Dan dalam hadist Aisyah radhiallahu 'anha :
“ Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wassalam menjadikan untuk penduduk Iraq Dzatu Irqin sebagai miqat mereka. “ (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Jika seorang yang sedang menunaikan ibadah haji atau umrah melalui jalan yang menuju ke salah satu dari lima tempat tersebut, maka itu adalah miqatnya, baik dia termasuk orang yang mempunyai miqat tempat itu, maupun tidak.  Dan barang siapa yang melalui jalan yang tidak menuju kepada salah satu miqat tersebut, maka jika dia melewati jalan yang mendekati salah satu miqat tersebut, dia bisa melakukan ihram dan mulai memasuki ibadah haji. Hal ini sesuai dengan perkataan Umar bin Khattab : “ Lihatlah yang sejajar dengan jalan yang kalian tempuh “ (HR Bukhari)

Maka barang siapa yang -umpamanya- naik pesawat terbang, maka hendaknya berihram ketika pesawat tersebut melewat di atas salah satu miqat yang lima tersebut atau lewat sejajar dengan salah satu miqat. Jika  hal tersebut tidak bisa diketahui, maka sebagai bentuk kehati-hatian, hendaknya dia melakukan ihram sebelum miqat tersebut, karena memang dibolehkan berihram sebelum melewati miqat jika memang dibutuhkan. Tetapi jika tidak ada kebutuhan, maka disunnahkan untuk melakukan ihram di miqat tersebut sebagaimana yang dikerjakan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Pembahasan Ketiga : Miqat Penduduk Mekkah Dan Yang Rumahnya Berada di dalam Miqat

Barang siapa yang rumahnya lebih dekat dengan Mekkah dari pada miqat-miqat tersebut, maka hendaknya berihram dari rumahnya.  Jika dia ingin melaksanakan ibadah haji, padahal dia tinggal di Mekkah, maka hendaknya dia berihram untuk haji dari Mekkah, hal ini sesuai dengan hadist :
حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا
“ Sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiah) dari (rumah mereka) di Makkah".
Adapun orang yang ingin melaksanakan umrah, maka dia harus keluar ke perbatasan Haram, dan berihram dari luar Haram, seperti al-Ju’ranah atau at-Tan’im, karena Nabi saw memerintahkan Aisyah ra ketika hendak melakukanumrah dan dia berada di Makkah untuk keluar menuju Tan’im.

Pembahasan Keempat : Ihram Dari Jeddah

Seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji tidak boleh berihram dari Jeddah , karena dia sudah melewati miqat-miqat yang sudah ditentukan oleh nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, maka wajib baginya untuk berihram dari tempat-tempat tersebut atau yang sejajar dengannya. Permasalahannya bukan karena Jeddah termasuk tempat yang berada di dalam Miqat atau di luar Miqat, tetapi jika dia datang dari arah Sawakin -salah satu kota yang berada di Sudan- maka boleh baginya untuk berihram dari Jeddah, karena dalam keadaan seperti ini secara khusus dia tidak melewati miqat-miqat tersebut dan tidak pula melewati tempat-tempat yang sejajar dengannya, maka ihram dari Jeddah menjadi sah.

Pembahasan Kelima : Hukum Masuk Mekkah Tanpa Berniat Untuk Melakukan Ibadah Haji

Barang siapa yang datang  dari kota tempat tinggalnya untuk bekerja di Mekkah atau yang dekat dengannya, sedangkan dia tidak berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau  dia masih bimbang apakah mau melaksanakan ibadah haji atau umrah, kemudian baru ada kepastian untuk melakukan ibadah haji setelah masuk Mekkah, maka statusnya seperti status penduduk Mekkah, yaitu dia hendaknya berihram untuk haji dari Mekkah dan berihram untuk Umrah dari luar Mekkah.
Adapun yang sudah berniat untuk melakukan ibadah haji sebelum sampai Mekkah, maka dia harus kembali ke Miqat untuk melakukan ihram haji, jika tidak, maka wajib baginya untuk menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang-orang miskin yang ada di Haram.

Barang siapa yang melewati miqat dengan berniat untuk melakukan ibadah haji, tetapi belum melakukan ihram, maka dia wajib kembali ke Miqat untuk melakukan ihram, jika tidak kembali ke Miqat, maka dia berihram dari tempatnya dan harus menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang-orang faqir yang ada di Haram, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas : “ Barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban ibadah haji, maka wajib baginya untuk membayar dam (menyembelih hewan kurban )“

Sumber: www.ahmadzain.com
Share:

Lailatul Qadar dan Tanda-tandanya



Di antara tanda-tanda lailatul qadar adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut ini.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda lailatul qadar,
ليلة طلقة لا حارة و لا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة
Dia adalah malam yang indah, sejuk, tidak panas, tidak dingin, di pagi harinya matahari terbit dengan cahaya merah yang tidak terang.” (H.R. Ibnu Khuzaimah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kemudian, ciri yang lain adalah malam ini umumnya terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Dalil yang menunjukkan hal ini: Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Beliau bersabda, “Carilah malam qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Barang siapa yang tidak mampu beribadah di awal sepuluh malam terakhir, hendaknya tidak ketinggalan untuk beribadah di tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang lailatul qadar, “Carilah di sepuluh malam terakhir. Jika ada yang tidak mampu maka jangan sampai ketinggalan ibadah di tujuh malam terakhir.” (H.R. Muslim)

Catatan untuk mendapatkan lailatul qadar:

Selayaknya, kaum muslimin untuk tidak pilih-pilih malam untuk beribadah, sehingga hanya mau rajin ibadah jika menemukan tanda-tanda lailatul qadar di atas, karena bisa jadi ciri-ciri itu tidak dijumpai oleh sebagian orang. Mungkin juga, pada hakikatnya, ini adalah sikap pemalas, hanya mencari untung tanpa melakukan banyak usaha. Bisa jadi, sikap semacam ini membuat kita jadi tertipu karena Allah tidak memberikan taufik untuk beribadah pada saat lailatul qadar.

Sebaliknya, mereka yang rajin beribadah di sepanjang malam dan tidak pilih-pilih, insyaAllah akan mendapatkan lailatul qadar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah memberikan nasihat tentang lailatul qadar, kemudian beliau berkata,
من يقم الحول يصبها
Siapa saja yang shalat malam sepanjang tahun, dia akan mendapatkannya.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ketika mendengar keterangan dari Ibnu Mas’ud ini, Abdullah bin Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati Ibnu Mas’ud, sebenarnya beliau paham bahwa lailatul qadar itu di bulan Ramadan, namun beliau ingin agar masyarakat tidak malas.” (Tafsir Al-Baghawi, 8:482)

Allahu a’lam.

***

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com



Share:

Keutamaan Raudhah

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabishallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih baik daripada 1000 shalat di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Haram.” (HR. Muslim no. 1394)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjid Al-Haram (di Makkah), dan Masjid Al Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1115 dan Muslim no. 1397)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
“Tempat antara mimbarku dan rumahku adalah satu taman dari taman-taman surga. Dan mimbarku berada di atas telagaku.” (HR. Al-Bukhari no. 1888 dan Muslim no. 1391)

~ Ya Robb, jadikanlah kami termasuk di antara hamba-hamba Mu yang rindu untuk senantiasa berburu pahala beribadah di tempat-tempat yang maqbullah. Amin. ~


Share:

Keutamaan Masjidil Haram



Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku lebih baik dari seribu shalat di selainnya, kecuali di Masjidil Haram dan shalat di Masjidil Haram lebih baik dari seratus ribu shalat di selainnya” (HR Ibnu Majah)

Di dalam Masjidil Haram terdapat Ka’bah, yang merupakan qiblat Kaum Muslimin. Allah berfirman,

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٤٤)
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS Al-Baqarah : 144)

Keutamaan Thawaf di Ka’bah

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang thawaf di rumah ini (Ka’bah) sebanyak tujuh kali dengan sempurna, maka pahalanya seperti pahala membebaskan seorang budak” dan aku mendengar beliau bersabda, “Tidaklah dia meletakkan telapak kakinya dan mengangkat yang satunya melainkan Allah menghapuskan satu dosanya dan menuliskan untuknya satu kebaikan” (HR Tirmidzi).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

   ينزل الله – عز و جل – على هذا البيت كل يو م و ليلة عشر ين و ما ئة رحمة ، ستو ن منها للطا ئفين ، و أ ر بعو ن للمصلين ، وعشر و ن للنا ظر ين
“Allah ta’ala menurunkan kepada rumah ini (Ka’bah) pada setiap harinya 120 rahmat. 60 bagi yang thawaf, 40 bagi yang shalat, 20 bagi yang memandang” (HR Azraqi dalam Akhbar Mekkah dan isnadnya bagus).

Mengagungkan Ka’bah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap sesuatu itu memiliki pemuka dan sesungguhnya pemukanya majelis-majelis itu adalah yang menghadap qiblat” (HR Thabrani).

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meludah ke arah qiblat, maka dia akan datang pada hari Kiamat dan ludahnya di antara kedua matanya” (HR Abu Dawud).

Larangan menghadap dan Membelakangi Qiblat ketika Buang Hajat

Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian hendak mendatangi tempat  buang hajat kalian, maka janganlah menghadap qiblat dan jangan pula membelakanginya” (Muttafaq ‘alaihi).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak menghadap dan membelakangi qiblat ketika buang hajat maka akan dituliskan satu kebaikan untuknya dan dihapuskan darinya satu keburukan” (HR Thabrani).

Keutamaan Hajar Aswad

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الر كن وا لمقا م يا قو تتا ن من يا قو ت الجنة ، طمس الله نو ر هما ، ولو لم يطمس نورهما لأ ضا ء تا ما بين المشر ق ولمغر ب
“Sesungguhnya Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam adalah dua permata yaqut dari yaqut surga, Allah menghilangkan cahayanya. Andai Allah tidak menghilangkan cahayanya, niscaya keduanya akan menerangi timur dan barat” (HR Tirmidzi). Dan dalam riwayat lain, “Sesungguhnya Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam adalah dua permata yaqut dari yaqut surga, andai tidak terkena dosa-dosa anak Adam, niscaya keduanya akan menerangi timur dan barat, dan tidaklah diusap oleh orang yang punya penyakit atau cela melainkan ia akan sembuh” (HR Baihaqi).

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, niscaya Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dengan memiliki dua bola mata melihat dengannya, serta lisan berkata dengannya, dia akan bersaksi atas siapa yang mengusapnya (mencium atau menyentuhnya) dengan benar” (HR Tirmidzi).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن مسحهما – أ ي : الحجر ا لأ سود والر كن اليما ني – كفا رة للخطا يا
“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) adalah penghapusan untuk dosa-dosa” (HR Tirmidzi)

Tidak Mendesak-desak Orang Ketika Mengusapnya

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Wahai Umar! Sesungguhnya kamu orang yang kuat, jangan kamu ikutan mendesak orang di Hajar Aswad sehingga kamu akan menyakiti yang lemah, bila kamu mendapati kelapangan maka usaplah ia, namun bila tidak, cukup kamu menghadapnya dan bertahlillah dan bertakbir” (HR Ahmad).

Keutamaan Multazam

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia beriltizam (menempelkan tubuhnya: kening, dada dan kedua tangannya) di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah dan berkata, “Antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah disebut multazam, barangsiapa beriltizam di antara keduanya dan memohon kepada Allah sesuatu, niscaya Allah akan mengabulkan permohonannya” (HR Baihaqi dalam Sunan Kubra).

Keutamaan Maqam Ibrahim

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (١٢٥)
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud" (QS Al-Baqarah : 125).

Allah Ta’ala juga berfirman

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (٩٧)
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak   
 memerlukan sesuatu) dari semesta alam”

Keutamaan Hijr Ismail
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata “adalah aku 
berkeinginan untuk masuk ke Ka’bah dan melaksanakan shalat di dalamnya, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menuntunku dan memasukkanku ke dalam Hijr seraya berkata,

صل فيه إن أ ر د ت د خول البيت ، فإ نما هو قطعة من البيت
“Shalatlah di dalamnya bila kamu ingin masuk ke Ka’bah, sesungguhnya tempat ini adalah bagian dari Ka’bah” (HR Tirmidzi)

Keutamaan Air Zamzam
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, telah bersabda Rasulullah 
shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baiknya air di muka bumi ini adalah air zamzam, di dalamnya ada makanan yang mengenyangkan dan ada penyembuh untuk penyakit” (HR Thabrani)
Dan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Air zamzam sesuai dengan tujuan meminumnya” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Sesungguhnya tanda antara kita dengan orang-orang munafiq, sesungguhnya mereka itu tidak sampai kenyang minum air zamzam” (HR Ibnu Majah).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia biasa membawa air zamzam dan dia menginformasikan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukannya dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membawanya dengan diletakkan di bejana dan kantong air kulit, dan beliau biasa menyiramkan kepada orang-orang sakit dan member minum mereka. (HR Baihaqi).
Share: